UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Download UU 22 Tahun 2009
Menimbang:
a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan
pengembangan wilayah;
c. bahwa perkembangan
lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara;
d. bahwa Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan
kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri
atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi,
Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
3.
Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4.
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul
dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5. Simpul adalah
tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang
berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai
dan danau, dan/atau bandar udara.
6. Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan
Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu
Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan
dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8.
Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas
rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
11.
Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak
pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas
pendukung.
12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi
Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan
tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
13.
Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk
mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang
dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
15. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
17. Rambu
Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang,
huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai
peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
18.
Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di
atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk
garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang
berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah
kepentingan Lalu Lintas.
19. Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu
yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas
orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.
20.
Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa
rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor
beroda tiga tanpa rumah-rumah.
21. Perusahaan
Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang
dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.
23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.
24.
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak
diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa
Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian
harta benda.
25. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.
28.
Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan
pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
29. Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang
meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan
pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan,
mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
kelancaran Lalu Lintas.
30. Keamanan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang,
barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum,
dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.
31.
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan
terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas
yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.
32.
Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu
lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban
setiap Pengguna Jalan.
33. Kelancaran Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan
angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.
34.
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah
sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui
penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang
terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
35.
Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.
36.
Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
37.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
39.
Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan
bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri,
bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.
40.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi
kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas partisipatif;
e. asas bermanfaat;
f. asas efisien dan efektif;
g. asas seimbang;
h. asas terpadu; dan
i. asas mandiri.
Pasal 3
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
a.
terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman,
selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi
martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
BAB III
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG
Pasal 4
Undang-Undang
ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c.
kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 5
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
(3)
Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya yang meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b.
urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c.
urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang
industri;
d. urusan pemerintahan di bidang
pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian
negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e.
urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 6
(1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional;
b.
penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara
nasional;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;
d.
pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan
bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
dan
e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2)
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah
provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a.
penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas
wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a.
penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 7
(1)
Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan
langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
(2)
Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b.
urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c.
urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang
industri;
d. urusan pemerintahan di bidang
pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian
negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e.
urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 8
Penyelenggaraan
di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan,
dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf a, yaitu:
a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;
d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;
e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan
g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.
Pasal 9
Penyelenggaraan
di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
d. perizinan angkutan umum;
e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
g.
penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan
teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian
dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
Pasal 10
Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
b.
pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 11
Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
b.
pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 12
Penyelenggaraan
di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf e meliputi:
a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;
b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;
c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;
f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
g. pendidikan berlalu lintas;
h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan
i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
(2)
Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang
memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Keanggotaan forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14
(1)
Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan
pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua wilayah di daratan.
(2) Pengembangan
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.
Pasal 15
(1)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang
kegiatan berskala nasional.
(2) Proses penyusunan
dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
Pasal 16
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b
disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
Pasal 17
(1)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.
Pasal 18
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a.
fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan
penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan
belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b.
jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat
ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c.
jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000
(sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d.
jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
(3)
Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan kelas III sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang
dari 8 (delapan) ton.
(4) Kelas Jalan berdasarkan
spesifikasi penyediaan prasarana Jalan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 20
(1) Penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan dilakukan oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2) Kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
Pasal 21
(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
(2)
Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan
antarkota, dan jalan bebas hambatan.
(3) Atas
pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah
Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang
harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4)
Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan
dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi
arus bebas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3)
Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada
Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4)
Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh
penyelenggara Jalan.
(5) Tim uji laik fungsi Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara
Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan
wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi
Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 24
(1)
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang
rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2)
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau
rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas.
Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 26
(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2)
Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.
(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.
Pasal 28
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2)
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1).
Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan
Pasal 29
(1) Untuk
mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat,
tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4)
Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan
pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Pengelolaan
Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip
berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan
kesesuaian.
Pasal 31
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.
Pasal 32
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Terminal
Paragraf 1
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
Pasal 33
(1)
Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta
keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun
dan diselenggarakan Terminal.
(2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
Pasal 34
(1)
Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut
pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.
Pasal 35
Untuk
kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Setiap
Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang
sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal
Pasal 37
(1)
Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b.
kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.
Paragraf 3
Fasilitas Terminal
Pasal 38
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk
menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.
Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal
Pasal 39
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2)
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola
oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan,
pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3)
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
Pasal 40
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.
Pasal 41
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
(2)
Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 42
Ketentuan
lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi,
fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Fasilitas Parkir
Pasal 43
(1)
Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di
luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2)
Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3)
Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan
di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota
yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir,
perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan
Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:
a. rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan
c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.
Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung
Pasal 45
(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa;
d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
Pasal 46
(1)
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan
pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan
pihak swasta.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis
fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB VII
KENDARAAN
Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan
Pasal 47
(1) Kendaraan terdiri atas:
a. Kendaraan Bermotor; dan
b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a. sepeda motor;
b. mobil penumpang;
c. mobil bus;
d. mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.
(3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Kendaraan Bermotor Umum.
(4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:
a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan
b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
Bagian Kedua
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Pasal 48
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri;
e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;
f. pemuatan;
g. penggunaan;
h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau
i. penempelan Kendaraan Bermotor.
(3)
Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. emisi gas buang;
b. kebisingan suara;
c. efisiensi sistem rem utama;
d. efisiensi sistem rem parkir;
e. kincup roda depan;
f. suara klakson;
g. daya pancar dan arah sinar lampu utama;
h. radius putar;
i. akurasi alat penunjuk kecepatan;
j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengujian Kendaraan Bermotor
Pasal 49
(1)
Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor,
dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan
wajib dilakukan pengujian.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. uji tipe; dan
b. uji berkala.
Pasal 50
(1)
Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib
dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta
tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta
modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
(2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang
dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor
dalam keadaan lengkap; dan
b. penelitian rancang
bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap
rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan
Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.
(3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 51
(1)
Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan
lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.
(2)
Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan
modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan
surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.
(3)
Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak
muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor
yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya.
(4)
Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji
tipe.
(5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi
teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji
sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.
(2)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu
lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.
(3)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah
persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.
(4)
Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi
ulang.
Pasal 53
(1) Uji
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan
untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan,
dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
b. pengesahan hasil uji.
(3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;
b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau
c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.
Pasal 54
(1)
Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil
barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian
terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri; dan
e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
(3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
b. tingkat kebisingan;
c. kemampuan rem utama;
d. kemampuan rem parkir;
e. kincup roda depan;
f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
h. kedalaman alur ban.
(4)
Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta
tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem
lampu.
(5) Bukti lulus uji berkala hasil
pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.
(6)
Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan
tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik,
spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.
(7)
Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan
tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.
Pasal 55
(1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:
a.
petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh
unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan
b.
petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana
pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian
swasta.
(2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.
Pasal 56
Ketentuan
lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53,
Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Perlengkapan Kendaraan Bermotor
Pasal 57
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
(3)
Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f.
helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda
empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 58
Setiap
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang
perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.
Pasal 59
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:
a. merah;
b. biru; dan
c. kuning.
(3)
Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
(4)
Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk mobil petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.
lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk mobil tahanan,
pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans,
palang merah, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat
warna kuning tanpa sirene digunakan untuk mobil patroli jalan tol,
pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan
angkutan barang khusus.
(6) Ketentuan lebih
lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu
isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Bagian Kelima
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
Pasal 60
(1)
Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat
Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
(3)
Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab
di bidang industri.
(4) Penyelenggaraan bengkel
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari
pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(5) Pengawasan terhadap
bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 61
(1) Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan tata cara memuat barang.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi:
a. konstruksi;
b. sistem kemudi;
c. sistem roda;
d. sistem rem;
e. lampu dan pemantul cahaya; dan
f. alat peringatan dengan bunyi.
(3)
Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.
(2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.
Pasal 63
(1)
Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak
Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
daerah kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur dengan
peraturan daerah provinsi.
Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
Pasal 64
(1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.
(2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. registrasi Kendaraan Bermotor baru;
b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik;
c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/atau
d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor.
(3) Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. tertib administrasi;
b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia;
c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan;
d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
e. perencanaan pembangunan nasional.
(4)
Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan
Bermotor.
(5) Data registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 65
(1) Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya;
b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor dan salinannya; dan
c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik
diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
Pasal 66
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe;
b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan
c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
Pasal 67
(1)
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak
Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan
terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap.
(2)
Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu
Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta
pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden.
Pasal 68
(1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi
dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor.
(2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor,
identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa
berlaku.
(3) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku.
(4) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan.
(5)
Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/atau
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 69
(1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di
Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan,
pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan
penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor
Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pasal 70
(1) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan.
(2)
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap
tahun.
(3) Sebelum berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan
perpanjangan.
Pasal 71
(1) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika:
a. bukti registrasi hilang atau rusak;
b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah;
c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau
d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan didaftarkan.
(2)
Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir didaftarkan.
(3)
Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat
Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan.
Pasal 72
(1)
Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan
peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk
pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia
diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga
internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 73
(1)
Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari
daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau
b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum.
(2)
Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai
angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor Umum.
Pasal 74
(1)
Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau
b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor.
(2) Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika:
a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau
b.
pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor.
(3) Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali.
Pasal 75
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan
registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat
(2) dan ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2)
Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar
ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda; dan/atau
c. penutupan bengkel umum.
(3) Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau
d. pencabutan sertifikat pengesah.
(4)
Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar
ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
PENGEMUDI
Bagian Kesatu
Surat Izin Mengemudi
Paragraf 1
Persyaratan Pengemudi
Pasal 77
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor
yang dikemudikan.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
(3)
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki
kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan atau belajar sendiri.
(4) Untuk
mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon
Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan
umum.
(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.
Paragraf 2
Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi
Pasal 78
(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.
(2)
Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan
oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah.
(3) Izin penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang
membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79
(1)
Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian
praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji.
(2)
Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab atas pelanggaran dan/atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat
calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.
Paragraf 3
Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi
Pasal 80
Surat
Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi:
a.
Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan
barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b.
Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan
barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari
3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
c. Surat
Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat,
Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta
tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan
untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan
e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
Pasal 81
(1)
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif,
kesehatan, dan lulus ujian.
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk;
b. pengisian formulir permohonan; dan
c. rumusan sidik jari.
(4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan
b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.
(5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui simulator.
(6)
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan
mengajukan permohonan:
a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan
b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
Pasal 82
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi:
a.
Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan
bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b.
Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih
dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan
c.
Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan
penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau
gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau
gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.
Pasal 83
(1)
Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin
Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia
dan persyaratan khusus.
(2) Syarat usia untuk
mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum;
b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan
c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.
(3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai:
1. pelayanan angkutan umum;
2. fasilitas umum dan fasilitas sosial;
3. pengujian Kendaraan Bermotor;
4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
5. tempat penting di wilayah domisili;
6. jenis barang berbahaya; dan
7. pengoperasian peralatan keamanan.
b. lulus ujian praktik, yang meliputi:
1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya;
2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
3. mengisi surat muatan;
4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan
5. pengoperasian peralatan keamanan.
(4) Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan:
a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan;
b.
untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi
B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
bulan; dan
c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum
harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I
Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
(5)
Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang
mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan
Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 84
Surat Izin
Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin
Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih
rendah, sebagai berikut:
a. Surat Izin Mengemudi A
Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
b. Surat Izin
Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
c.
Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan
Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I;
d.
Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan
Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat
Izin Mengemudi B I; atau
e. Surat Izin Mengemudi B
II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A
Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat
Izin Mengemudi B II.
Pasal 85
(1) Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain.
(2) Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4)
Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang
diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat
Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia.
(5)
Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 4
Fungsi Surat Izin Mengemudi
Pasal 86
(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.
(2)
Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan
Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi.
(3)
Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan
penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.
Bagian Kedua
Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi
Paragraf 1
Penerbitan Surat Izin Mengemudi
Pasal 87
(1) Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi.
(4)
Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang
penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi.
Pasal 88
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan
Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Paragraf 2
Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi
Pasal 89
(1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau
data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang
melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.
(2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara
atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh
pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Bagian Ketiga
Waktu Kerja Pengemudi
Pasal 90
(1)
Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan
ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari.
(3)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama
4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah
jam.
(4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat
dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu
istirahat selama 1 (satu) jam.
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 91
(1)
Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang
penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa
sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 92
(1)
Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan
ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian
Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberian denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB IX
LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Paragraf 1
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 93
(1)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan
penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
h. perlindungan terhadap lingkungan.
(3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. perekayasaan;
d. pemberdayaan; dan
e. pengawasan.
Pasal 94
(1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi:
a. identifikasi masalah Lalu Lintas;
b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;
c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;
d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan;
e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan;
f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas;
g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;
h. penetapan tingkat pelayanan; dan
i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.
(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi:
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
(3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi:
a.
perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan
Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan;
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan
c.
optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan
ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.
(4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian:
a. arahan;
b. bimbingan;
c. penyuluhan;
d. pelatihan; dan
e. bantuan teknis.
(5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi:
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan
c. tindakan penegakan hukum.
Pasal 95
(1)
Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa
perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan:
a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi;
c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau
d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.
(2)
Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan,
dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 96
(1)
Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2),
Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5)
huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional.
(2)
Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta
Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.
(3)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas
pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i,
Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).
(4)
Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan
provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(5)
Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan
kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi
terkait.
(6) Walikota bertanggung jawab atas
pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi
dari instansi terkait.
Pasal 97
(1)
Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau
situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian.
(2)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan
yang bersifat sementara.
(3) Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait.
Pasal 98
(1)
Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib
berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan
berdasarkan data dan kinerjanya.
(2) Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kedua
Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 99
(1)
Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan
infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib
dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
(2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;
d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan
e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(3)
Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan
perundang-undangan.
Pasal 100
(1)
Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat
(1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli
bersertifikat.
(2) Hasil analisis dampak Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan
persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 101
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang
Paragraf 1
Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan
Pasal 102
(1)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka
Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada
jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60
(enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang
membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau
peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).
(2)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Paragraf 2
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas
Pasal 103
(1)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan
harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.
(2) Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan.
(3)
Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan
gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan,
dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3
Pengutamaan Petugas
Pasal 104
(1)
Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
melakukan tindakan:
a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan;
b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus;
c. mempercepat arus Lalu Lintas;
d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau
e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.
(2)
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada
perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu
Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
(3) Pengguna
Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Bagian Keempat
Tata Cara Berlalu Lintas
Paragraf 1
Ketertiban dan Keselamatan
Pasal 105
Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:
a. berperilaku tertib; dan/atau
b.
mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan
kerusakan Jalan.
Pasal 106
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.
(3)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:
a. rambu perintah atau rambu larangan;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. gerakan Lalu Lintas;
e. berhenti dan Parkir;
f. peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.
(5)
Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang
yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan:
a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
b. Surat Izin Mengemudi;
c. bukti lulus uji berkala; dan/atau
d. tanda bukti lain yang sah.
(6)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau
lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan
sabuk keselamatan.
(7) Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak
dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di
sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang
memenuhi standar nasional Indonesia.
(8) Setiap
orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib
mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.
(9) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.
Paragraf 2
Penggunaan Lampu Utama
Pasal 107
(1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan
Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi
tertentu.
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain
mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan
lampu utama pada siang hari.
Paragraf 3
Jalur atau Lajur Lalu Lintas
Pasal 108
(1) Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.
(2) Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:
a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau
b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.
(3)
Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil
barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.
(4)
Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan
dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau
mendahului Kendaraan lain.
Pasal 109
(1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus
menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang
akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang
yang cukup.
(2) Dalam keadaan tertentu, Pengemudi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah
kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
(3) Jika Kendaraan yang akan
dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan
sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melewati Kendaraan tersebut.
Pasal 110
(1)
Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan
pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan
ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.
(2)
Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu
rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan
Kendaraan yang datang dari arah berlawanan.
Pasal 111
Pada
jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan
untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib
memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.
Paragraf 4
Belokan atau Simpangan
Pasal 112
(1)
Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib
mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang
Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau
isyarat tangan.
(2) Pengemudi Kendaraan yang akan
berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu
Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan
isyarat.
(3) Pada persimpangan Jalan yang
dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan
dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu
Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
Pasal 113
(1)
Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada:
a.
Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang
persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas
atau Marka Jalan;
b. Kendaraan dari Jalan utama
jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil
atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan;
c.
Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika
cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;
d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau
e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.
(2)
Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang
berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada
Kendaraan lain yang datang dari arah kanan.
Pasal 114
Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib:
a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;
b. mendahulukan kereta api; dan
c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Paragraf 5
Kecepatan
Pasal 115
Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:
a.
mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang
diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau
b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.
Pasal 116
(1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas.
(2) Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:
a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang;
b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring;
c. cuaca hujan dan/atau genangan air;
d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas;
e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau
f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang.
Pasal 117
Pengemudi
yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas
di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak
membahayakan Kendaraan lain.
Paragraf 6
Berhenti
Pasal 118
Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:
a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;
b.
pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan
serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan/atau
c. di jalan tol.
Pasal 119
(1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang
berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi
isyarat tanda berhenti.
(2) Pengemudi Kendaraan
yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah
yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menghentikan kendaraannya sementara.
Paragraf 7
Parkir
Pasal 120
Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.
Pasal 121
(1)
Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman,
lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti
atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.
Paragraf 8
Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 122
(1) Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:
a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;
b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau
c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang.
(3)
Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus
memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului.
Pasal 123
Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.
Paragraf 9
Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum
Pasal 124
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib:
a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;
b.
memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis
dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan
mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;
c.
menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur
paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;
d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;
e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan
f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah.
Pasal 125
Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan Jalan sesuai dengan kelas Jalan yang ditentukan.
Pasal 126
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;
b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau
d. melewati jaringan Jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.
Bagian Kelima
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
Paragraf 1
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan
Pasal 127
(1)
Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat
dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota,
dan jalan desa.
(2) Penggunaan jalan nasional dan
jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk
kepentingan umum yang bersifat nasional.
(3)
Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional,
daerah, dan/atau kepentingan pribadi.
Paragraf 2
Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
Pasal 128
(1)
Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) yang
mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.
(2)
Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara.
(3)
Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan
ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 3
Tanggung jawab
Pasal 129
(1) Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan.
(2)
Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat
(3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 130
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur
dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas
Pasal 131
(1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
(2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.
(3)
Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan
memperhatikan keselamatan dirinya.
Pasal 132
(1) Pejalan Kaki wajib:
a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau
b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
(2)
Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib
memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas.
(3) Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.
Bagian Ketujuh
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
Pasal 133
(1)
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu
Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan
manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria:
a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan;
b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan
c. kualitas lingkungan.
(2) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan;
e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau
f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.
(3)
Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu
Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan
peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Manajemen kebutuhan Lalu
Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang
bertanggung jawab pada bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran
Paragraf 1
Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama
Pasal 134
Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b. ambulans yang mengangkut orang sakit;
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas;
d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
f. iring-iringan pengantar jenazah; dan
g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Pengaturan Kelancaran
Pasal 135
(1)
Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134
harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau
menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
(2)
Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengamanan jika
mengetahui adanya Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku
bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134.
Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
Pasal 136
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pelayanan umum;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.
BAB X
ANGKUTAN
Bagian Kesatu
Angkutan Orang dan Barang
Pasal 137
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.
(4) Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali:
a.
rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan
prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai;
b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk
angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum
Pasal 138
(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.
(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Pasal 139
(1)
Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan
orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas
negara.
(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib
menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau
barang antarkota dalam provinsi.
(3) Pemerintah
Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk
jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.
(4)
Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 140
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:
a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan
b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.
Paragraf 2
Standar Pelayanan Angkutan Orang
Pasal 141
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:
a. keamanan;
b. keselamatan;
c. kenyamanan;
d. keterjangkauan;
e. kesetaraan; dan
f. keteraturan.
(2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
Pasal 142
Jenis
pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:
a. angkutan lintas batas negara;
b. angkutan antarkota antarprovinsi;
c. angkutan antarkota dalam provinsi;
d. angkutan perkotaan; atau
e. angkutan perdesaan.
Pasal 143
Kriteria
pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:
a. memiliki rute tetap dan teratur;
b.
terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang
di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.
Pasal 144
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:
a. tata ruang wilayah;
b. tingkat permintaan jasa angkutan;
c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;
d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
Pasal 145
(1)
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan
trayek.
(2) Penyusunan rencana umum jaringan
trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi
dengan instansi terkait.
(3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jaringan trayek lintas batas negara;
b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi;
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;
d. jaringan trayek perkotaan; dan
e. jaringan trayek perdesaan.
(4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 146
(1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah
provinsi;
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau
c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.
Pasal 147
(1)
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.
(2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 148
Jaringan
trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d
ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab
di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota
antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi;
b.
gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu)
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; atau
c. bupati/walikota
untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan
dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 149
Jaringan
trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:
a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten;
b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
c.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu
daerah provinsi.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 4
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
Pasal 151
Pelayanan
angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
Pasal 152
(1)
Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke
pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.
(2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berada dalam wilayah kota;
b. berada dalam wilayah kabupaten;
c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
d. melampaui wilayah provinsi.
(3)
Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh:
a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota;
b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten;
c.
gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota
atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau
d.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui
wilayah provinsi.
Pasal 153
(1)
Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di
sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan
orang dalam trayek.
(2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum.
Pasal 154
(1)
Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.
(2)
Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil
bus umum dengan tanda khusus.
(3) Angkutan orang
untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan
Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia
angkutan khusus untuk pariwisata.
Pasal 155
(1)
Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf
d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan
jalan lingkungan.
(2) Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum.
Pasal 156
Evaluasi
wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek
dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan
kepada masyarakat.
Pasal 157
Ketentuan lebih
lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak
dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 5
Angkutan Massal
Pasal 158
(1)
Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk
memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di
kawasan perkotaan.
(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
b. lajur khusus;
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan
d. angkutan pengumpan.
Pasal 159
Ketentuan
lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Keempat
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 160
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:
a. angkutan barang umum; dan
b. angkutan barang khusus.
Paragraf 2
Angkutan Barang Umum
Pasal 161
Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;
b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan
c. menggunakan mobil barang.
Paragraf 3
Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 162
(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;
c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;
d.
membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan
menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
e.
beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan,
Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(2)
Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang
melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang
mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai
dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.
Pasal 163
(1)
Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang
menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola
pergundangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang
dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.
(2)
Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan
barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung
jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus
dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam
Kendaraan Bermotor Umum.
Pasal 164
Ketentuan
lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kelima
Angkutan Multimoda
Pasal 165
(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.
(2)
Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan
berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan
badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
(3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan
tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Dokumen Angkutan Orang dan Barang
dengan Kendaraan Bermotor Umum
Pasal 166
(1)
Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek
tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam
provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.
(2) Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek;
b. tanda pengenal bagasi; dan
c. manifes.
(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:
a. surat perjanjian pengangkutan; dan
b. surat muatan barang.
Pasal 167
(1) Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:
a. menyerahkan tiket Penumpang;
b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek;
c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan
d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.
(2) Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.
Pasal 168
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan.
(2) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.
Bagian Ketujuh
Pengawasan Muatan Barang
Pasal 169
(1)
Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi
ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan,
dan kelas Jalan.
(2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang.
(3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.
(4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau
b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
Pasal 170
(1)
Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.
(2)
Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang
dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah.
(3) Pengoperasian dan
perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh
unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4)
Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis
barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
Pasal 171
(1)
Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.
(2)
Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas
pemeriksa Kendaraan Bermotor.
(3) Pengoperasian
alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 172
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pengusahaan Angkutan
Paragraf 1
Perizinan Angkutan
Pasal 173
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:
a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau
c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.
(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
b. pengangkutan jenazah.
Pasal 174
(1)
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen
kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan,
surat pernyataan, dan kartu pengawasan.
(2)
Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.
Pasal 175
(1) Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu.
(2) Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).
Paragraf 2
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek
Pasal 176
Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:
a.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang
melayani:
1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara;
2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi;
3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan
4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi.
b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi.
c.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan
orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan
2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten.
e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.
Pasal 177
Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan
b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
Pasal 178
Ketentuan
lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek
diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek
Pasal 179
(1) Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh:
a.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi;
2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau
3. angkutan pariwisata.
b.
gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih
dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
c.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan
angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan
d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Paragraf 4
Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 180
(1)
Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab
di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan
rekomendasi dari instansi terkait.
(2) Izin
penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173
ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian
izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kesembilan
Tarif Angkutan
Pasal 181
(1) Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang.
(2) Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan
b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.
Pasal 182
(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:
a. tarif kelas ekonomi; dan
b. tarif kelas nonekonomi.
(2) Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek
antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang
wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi;
b.
gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam
provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas
satu kabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. bupati
untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten
serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam
kabupaten; dan
d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.
(3) Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 183
(1)
Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan
menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a
ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan
minimal yang ditetapkan.
(2) Tarif Penumpang untuk
angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata,
dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b,
huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna
Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
Pasal 184
Tarif
angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan
Angkutan Umum.
Bagian Kesepuluh
Subsidi Angkutan Penumpang Umum
Pasal 185
(1)
Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu
dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum
Paragraf 1
Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 186
Perusahaan
Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati
perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh
Penumpang dan/atau pengirim barang.
Pasal 187
Perusahaan
Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar
oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan
pemberangkatan.
Pasal 188
Perusahaan Angkutan
Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim
barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
Pasal 189
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
Pasal 190
Pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang
diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau
barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
angkutan.
Pasal 191
Perusahaan Angkutan Umum
bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan
orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Pasal 192
(1)
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan
angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat
dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.
(2)
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.
(3)
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak
Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.
(4)
Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan
Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian
tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 193
(1)
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat
penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau
rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atau kesalahan pengirim.
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
(3)
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang
diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
(4)
Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian
disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat
muatan angkutan barang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 194
(1)
Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan
Umum.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan
permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
Paragraf 2
Hak Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 195
(1)
Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika
pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang
ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang
disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.
(3)
Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara
lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika
pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan
kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 196
Jika
barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan
batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak
memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam
penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Belas
Tanggung Jawab Penyelenggara
Pasal 197
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;
b.
memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga
keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan
c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga Belas
Industri Jasa Angkutan Umum
Pasal 198
(1)
Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang
memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.
(2)
Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah harus:
a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;
b. menetapkan standar pelayanan minimal;
c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;
d. mendorong terciptanya pasar; dan
e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif
Pasal 199
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189,
Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB XI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 200
(1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas
terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggaraan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama
antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
(3)
Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan:
a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c.
pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan
penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan
etika masyarakat dalam berlalu lintas;
d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. manajemen keamanan Lalu Lintas;
f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;
g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan
h. penegakan hukum Lalu Lintas.
Pasal 201
(1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan
menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi
untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.
Pasal 202
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201
diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 203
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:
a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 204
(1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan
menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada
rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 205
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2)
dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan
menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat
memberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 206
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. audit;
b. inspeksi; dan
c. pengamatan dan pemantauan.
(2)
Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang
ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang
ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4)
Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan
skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5)
Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan
skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(6)
Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
(7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.
Pasal 207
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 208
(1)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan
mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;
b.
sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta
program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan
e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.
(3)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program
untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.
BAB XII
DAMPAK LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 209
(1)
Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku
mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan
pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan
Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 210
(1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi
persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur
penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang
diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 211
Setiap
pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan
Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
Pasal 212
Setiap
pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan
Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi
kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan
kebisingan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Paragraf 1
Kewajiban Pemerintah
Pasal 213
(1)
Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:
a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
b. membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
c.
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum,
pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan;
dan
d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 214
(1)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.
(2)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai
kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 215
Perusahaan Angkutan Umum wajib:
a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah;
b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi jasa angkutan umum;
d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan
e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.
Paragraf 3
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 216
(1) Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.
(2) Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 217
Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 218
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak lingkungan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB XIII
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA
DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 219
(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;
b. peralatan penegakan hukum;
c. peralatan uji laik kendaraan;
d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan Pengemudi;
f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.
(2)
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau komponen Kendaraan Bermotor;
c. pengalihan teknologi;
d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal;
e. pengembangan industri bahan baku dan komponen;
f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau
h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.
Bagian Kedua
Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor
Pasal 220
(1)
Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan hukum;
d. lembaga penelitian; dan/atau
e. perguruan tinggi.
(2) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:
a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;
b. kesesuaian material;
c. kesesuaian motor penggerak;
d. kesesuaian daya dukung jalan;
e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor;
f. dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk;
g. posisi lampu;
h. jumlah tempat duduk;
i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;
j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan
k. fasilitas ke luar darurat.
(3)
Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan
pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 221
Pemberdayaan
industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan
memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan
keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
Bagian Ketiga
Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
Pasal 222
(1)
Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang
menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
(2) Pengembangan industri dan
teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara
terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
(3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:
a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penegakan hukum;
c. uji kelaikan Kendaraan;
d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi;
g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.
(4) Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:
a. pemahaman teknologi;
b. pengalihan teknologi; dan
c. fasilitasi riset teknologi.
(5) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.
Bagian Keempat
Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 223
(1)
Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2), Pemerintah mendorong
pemberdayaan industri dalam negeri.
(2) Untuk
mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang
tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 224
(1) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas:
a. rekayasa;
b. produksi;
c. perakitan; dan/atau
d. pemeliharaan dan perbaikan.
(2)
Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup
alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.
Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 225
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV
KECELAKAAN LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 226
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. penegakan hukum; dan
d. kemitraan global.
(2)
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang.
(3)
Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh
forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Paragraf 1
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 227
Dalam
hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.
Pasal 228
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 229
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2)
Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(4)
Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau
luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan,
ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Pasal 230
Perkara
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Pertolongan dan Perawatan Korban
Pasal 231
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
(2)
Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia terdekat.
Pasal 232
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:
a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 4
Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 233
(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.
(3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.
(4)
Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh
pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Paragraf 1
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi,
Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
Pasal 234
(1)
Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang
dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian
Pengemudi.
(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan
Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau
kesalahan Pengemudi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal 235
(1)
Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris
korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana.
(2) Jika
terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan
Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan
huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib
memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Pasal 236
(1)
Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya
ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
(2)
Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2)
dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di
antara para pihak yang terlibat.
Pasal 237
(1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan
sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban
kecelakaan.
(2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.
Paragraf 2
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 238
(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 239
(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Pemerintah membentuk perusahaan asuransi kecelakaan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Korban
Pasal 240
Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pasal 241
Setiap
korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan
pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT,
MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus
Pasal 242
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib
memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil,
dan orang sakit.
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. aksesibilitas;
b. prioritas pelayanan; dan
c. fasilitas pelayanan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia
lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 243
Masyarakat secara
kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 244
(1)
Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan
sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia
lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 245
(1)
Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan
komunikasi yang terpadu.
(2) Penyelenggaraan
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan,
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang meliputi:
a. bidang prasarana Jalan;
b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c.
bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas.
Pasal 246
(1)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang
mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.
(3)
Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kedua
Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 247
(1)
Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap
pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem
informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Subsistem informasi dan
komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3) Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 248
(1)
Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan,
dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan
komunikasi, dan pusat data.
(2) Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi:
a. perencanaan;
b. perumusan kebijakan;
c. pemantauan;
d. pengawasan;
e. pengendalian;
f. informasi geografi;
g. pelacakan;
h. informasi Pengguna Jalan;
i. pendeteksian arus Lalu Lintas;
j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau
k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.
Bagian Keempat
Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 249
(1) Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:
a. kendali;
b. koordinasi;
c. komunikasi;
d. data dan informasi terpadu;
e. pelayanan masyarakat; dan
f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.
(2)
Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat,
tertib, lancar, dan terpadu.
(3) Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi:
a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b.
dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran, kemacetan, dan kecelakaan
serta kejadian lain yang berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan, dan Kecelakaan Lalu Lintas;
d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik dan secara langsung;
e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor;
f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan Bermotor;
g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara;
h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli;
i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.
Pasal 250
Data
dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh
masyarakat.
Pasal 251
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi:
a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain;
b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c.
pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku
dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.
Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 252
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 253
(1)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya
manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki
kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan
dan pelatihan oleh:
a. Pemerintah;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c. lembaga swasta yang terakreditasi.
Pasal 254
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan
serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
mekanik dan Pengemudi.
(2) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen
Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan,
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 255
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 256
(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b.
masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan
peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. pendapat dan pertimbangan
kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan
d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan
menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan
oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 257
Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan
secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau
organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan
kemitraan.
Pasal 258
Masyarakat wajib berperan
serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan
disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
BAB XIX
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 259
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.
(2)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Penyidik; dan
b. Penyidik Pembantu.
Paragraf 1
Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 260
(1)
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
berwenang:
a. memberhentikan,
melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan
Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau
merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan
Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d.
melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor,
muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan
Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
e.
melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan
Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
(2)
Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 261
Penyidik
Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b
mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1)
huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Paragraf 2
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Pasal 262
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
a.
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik
jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan
peralatan khusus;
b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
c.
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi
Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
e.
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau
Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik
jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
f.
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin
penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita
acara pemeriksaan.
(2) Kewenangan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.
(3)
Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan
harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 3
Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Pasal 263
(1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan
pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib
berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Paragraf 1
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
Pasal 264
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:
a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 265
(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:
a.
Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda
Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda
Coba Kendaraan Bermotor;
b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji;
c. fisik Kendaraan Bermotor;
d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau
e. izin trayek atau izin operasi.
(2)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Untuk melaksanakan pemeriksaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. menghentikan Kendaraan Bermotor;
b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau
c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
Pasal 266
(1)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara
insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(3)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan
secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(4) Penyidik
Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor
di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 267
(1)
Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda
berdasarkan penetapan pengadilan.
(2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
(3)
Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4)
Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.
Pasal 268
(1)
Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil
daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan
kepada pelanggar untuk diambil.
(2) Sisa uang
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1
(satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas
negara.
Pasal 269
(1) Uang
denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267
ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
(2)
Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan
penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penanganan Benda Sitaan
Pasal 270
(1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan
penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga
berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(3)
Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat
yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di
kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat
penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.
(4)
Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 271
(1)
Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan
Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri
Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(4)
Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat
dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.
Pasal 272
(1)
Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 273
(1)
Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut
memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban
luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana
dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan
yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum
diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 274
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan
dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2)
Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (2).
Pasal 275
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada
fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang
merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu
Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan
sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 276
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak
singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 277
Setiap
orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta
tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau
memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta
gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di
dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang
tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga
pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada
kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 279
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi
perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 280
Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 281
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki
Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 282
Setiap
Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
Pasal 283
Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan
lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan
konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
Pasal 284
Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki
atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 285
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak
memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion,
klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul
cahaya, alat pengukur kecepatan, kanlpot, dan kedalaman alur ban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi
persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu
mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan,
lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur
kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto
Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 286
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di
Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 287
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu
Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau
Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda
paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(4)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan
yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(5)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115
huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau
denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(6)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 288
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak
dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau surat tanda
coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak
dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah Kendaraan Bermotor yang
dikemudikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil
barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi
dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 289
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di
samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
Pasal 290
Setiap orang
yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor
yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk
keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 291
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm
standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan
penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 292
Setiap
orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang
mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 293
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa
menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang
mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada
siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling
banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 294
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau
berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau
isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 295
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur
atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 296
Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor pada perlintasan antara kereta api dan
Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu
kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah).
Pasal 297
Setiap orang
yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat
peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir
dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau
denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 299
Setiap
orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja
berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda
yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur
jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b,
atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas)
hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 300
Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum yang:
a. tidak menggunakan
lajur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri,
kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c;
b. tidak
memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan
Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau
c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf e
Pasal 301
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak
menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 302
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang
tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem,
menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati
jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 303
Setiap orang yang
mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat 4 huruf a, huruf b, dan huruf c
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 304
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu
yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan
atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk
keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 305
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang
khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan,
pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan
rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 306
Setiap
orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi
surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 307
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang
tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut,
dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 308
Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:
a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;
b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b;
c.
tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat
berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau
d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
Pasal 309
Setiap
orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian
kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak
ketiga) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 310
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka
ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 311
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan
cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal
dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal 312
Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan
dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan
pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang
patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 313
Setiap
orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu
juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 314
Selain
pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi
atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
Pasal 315
(1)
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum,
pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum
dan/atau pengurusnya.
(2) Dalam hal tindak pidana
lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang
dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari
pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
(3)
Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin trayek atau
izin operasi bagi kendaraan yang digunakan.
Pasal 316
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1),
Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal
283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289,
Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal
296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302,
Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal
309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2),
Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.
Pasal 317
Dalam
hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai
denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 318
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap
berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 319
Pada saat
Undang-Undang ini berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor
Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 320
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pasal 321
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pasal 322
Pusat
kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku.
Pasal 323
Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pasal 324
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 325
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 326
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA